PENDAHULUAN
Kehidupan
manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik
suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa
akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan
hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti
makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga
mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang
lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota
masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya.
Setiap
warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek
politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya
dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik
politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau
berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung,
berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kehidupan
politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga
negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah
(non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan
pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem
politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur
pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya,
pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain.
Budaya
politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang
lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan
kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai
politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan
yang memerintah.
Kegiatan
politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan
pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung
mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang
menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat.
A.
PENTINGNYA SOSIALISASI POLITIK DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK
1.
PENGERTIAN SOSIALISASI POLITIK
Sosialisasi
politik adalah cara-cara belajar seseorang terhadap pola-pola sosial yang
berkaitan dengan posisi-posisi kemasyarakatan seperti yang diketengahkan
melalui bermacam-macam badan masyarakat.
Almond dan Powell, sosialisasi politik sebagai proses dengan mana sikap-sikap dan nilai-nilai politik ditanamkan kepada anak-anak sampai metreka dewasa dan orang-orang dewasa direkrut ke dalam peranan-peranan tertentu.
Greenstein dalam karyanya “International Encyolopedia of The Social Sciences” 2 definisi sosialisasi politik:
Almond dan Powell, sosialisasi politik sebagai proses dengan mana sikap-sikap dan nilai-nilai politik ditanamkan kepada anak-anak sampai metreka dewasa dan orang-orang dewasa direkrut ke dalam peranan-peranan tertentu.
Greenstein dalam karyanya “International Encyolopedia of The Social Sciences” 2 definisi sosialisasi politik:
a.
Definisi sempit, sosialisasi politik adalah penanaman informasi politik yang
disengaja, nilai-nilai dan praktek-praktek yang oleh badan-badan instruksional
secara formal ditugaskan untuk tanggung jawab ini.
b.
Definisi luas, sosialisasi politik merupakan semua usaha mempelajari politik
baik formal maupun informal, disengaja ataupun terencana pada setiap tahap
siklus kehidupan dan termasuk didalamnya tidak hanya secara eksplisit masalah
belajar politik tetapi juga secara nominal belajat bersikap non politik
mengenai karakteristik-karakteristik kepribadian yang bersangkutan.
Easton dan Denuis, sosialisasi politik yaitu suatu proses perkembangan seseorang untuk mendapatkan orientasi-orientasi politik dan pola-pola tingkah lakunya.
Almond, sosialisasi politik adalah proses-proses pembentukan sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku.
Proses sosialisasi dilakukan melalui berbagai tahap sejak dari awal masa kanak-kanak sampai pada tingkat yang paling tinggi dalam usia dewasa. Sosialisasi beroperasi pada 2 tingkat:
Easton dan Denuis, sosialisasi politik yaitu suatu proses perkembangan seseorang untuk mendapatkan orientasi-orientasi politik dan pola-pola tingkah lakunya.
Almond, sosialisasi politik adalah proses-proses pembentukan sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku.
Proses sosialisasi dilakukan melalui berbagai tahap sejak dari awal masa kanak-kanak sampai pada tingkat yang paling tinggi dalam usia dewasa. Sosialisasi beroperasi pada 2 tingkat:
a.
Tingkat Komunitas
Sosialisasi dipahami sebagai proses pewarisan kebudayaan, yaitu suatu sarana bagi suatu generasi untuk mewariskan nilai-nilai, sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.
Sosialisasi dipahami sebagai proses pewarisan kebudayaan, yaitu suatu sarana bagi suatu generasi untuk mewariskan nilai-nilai, sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.
b.Tingkat
Individual Proses sosialisasi politik dapat dipahami sebagai proses warga suatu
Negara membentuk pandangan-pandangan politik mereka.
Dalam konsep Freud, individu dilihat sebagai objek sosilaisasi yang pasif sedangkan Mead memandang individu sebagai aktor yang aktif, sehingga proses sosialisasi politik merupakan proses yang beraspek ganda. Di satu pihak, ia merupakan suatu proses tertutupnya pilihan-pilihan perilaku, artinya sejumlah kemungkinan terbuka yang sangat luas ketika seorang anak lahir menjadi semakin sempit sepanjang proses sosialisasi. Di lain pihak, proses sosialisasi bukan hanya merupakan proses penekanan
Dalam konsep Freud, individu dilihat sebagai objek sosilaisasi yang pasif sedangkan Mead memandang individu sebagai aktor yang aktif, sehingga proses sosialisasi politik merupakan proses yang beraspek ganda. Di satu pihak, ia merupakan suatu proses tertutupnya pilihan-pilihan perilaku, artinya sejumlah kemungkinan terbuka yang sangat luas ketika seorang anak lahir menjadi semakin sempit sepanjang proses sosialisasi. Di lain pihak, proses sosialisasi bukan hanya merupakan proses penekanan
2.
METODE SOSIALISASI POLITIK ( oleh
Rush dan Althoff)
1.
Imitasi
Peniruan
terhadap tingkah laku individu-individu lain. Imitasi penting dalam sosialisasi
masa kanak-kanak. Pada remaja dan dewasa, imitasi lebih banyakbercampur dengan
kedua mekanisme lainnya, sehingga satu derajat peniruannya terdapat pula pada
instruksi mupun motivasi.
2.
Instruksi
Peristiwa
penjelasan diri seseornag dengan sengaja dapat ditempatkan dalam suatu situasi
yang intruktif sifatnya.
3.
Motivasi
Sebagaimana
dijelaskan Le Vine merupakan tingkah laku yang tepat yang cocok yang dipelajari
melalui proses coba-coba dan gagal (trial and error).
Jika
imitasi dan instruksi merupakan tipe khusus dari pengalaman, sementara motivasi
lebih banyak diidentifikasikan dengan pengalaman pada umumnya.
Sosialisasi politik yang selanjutnya akan mempengaruhi pembentukan jati diri politik pada seseorang dapat terjadi melalui cara langsung dan tidak langsung. Proses tidak langsung meliputi berbagai bentuk proses sosialisasi yang pada dasarnya tidak bersifat politik tetapi dikemudian hari berpengatuh terhadap pembentukan jati diri atau kepribadian politik. Sosialisasi politik lnagsung menunjuk pada proses-proses pengoperan atau pembnetukan orientasi-orientasi yang di dalam bentuk dan isinya bersifat politik.
Sosialisasi politik yang selanjutnya akan mempengaruhi pembentukan jati diri politik pada seseorang dapat terjadi melalui cara langsung dan tidak langsung. Proses tidak langsung meliputi berbagai bentuk proses sosialisasi yang pada dasarnya tidak bersifat politik tetapi dikemudian hari berpengatuh terhadap pembentukan jati diri atau kepribadian politik. Sosialisasi politik lnagsung menunjuk pada proses-proses pengoperan atau pembnetukan orientasi-orientasi yang di dalam bentuk dan isinya bersifat politik.
Proses
sosialisasi politik tidak langsung meliputi metode belajar berikut:
1.
Pengoperasian Interpersonal
Mengasumsikan
bahwa anak mengalami proses sosialisasi politik secara eksplisitdalam keadaan
sudah memiliki sejumlah pengalaman dalam hubungna-hubungan dan
pemuasan-pemuasan interpersonal.
2.
Magang
Metode
belajat magang ini terjadi katrna perilau dan pengalaman-pengalaman yang
diperoleh di dalam situasi-situasi non politik memberikan keahlian-keahlian dan
nilai-nilai yang pada saatnya dipergunakan secara khusus di dalam konteks yang
lebih bersifat politik.
3.
Generalisasi
Terjadi
karena nilai-nilai social diperlakukan bagi bjek-objek politik yang lebih
spesifik dan dengan demikian membentuk sikap-sikap politik terentu.
Proses
sosialisasi langsung terjadi melalui:
1)
Imitasi
Merupakan
mode sosiaisasi yang paling ekstensif dan banyak dialami anak sepanjang
perjalanan hidup mereka. Imitasi dapat dilakukan secara sadar dan secara tidak
sadar.
2)
Sosialisasi Politik Antisipatoris
Dilakukan
untuk mengantisipasi peranan-peranan politik yang diinginkan atau akan diemban
oleh actor. Orang yang berharap suatu ketika menjalani pekerjaan-pekerjaan
professional atau posisi social yang tinggi biasanya sejak dini sudah mulai
mengoper nilai-nilai dan pola-pola perilaku yang berkaitan dengan
peranan-peranan tersebut.
3)
Pendidikan Politik
Inisiatif
mengoper orientasi-orientasi politik dilakukan oleh “socialiers” daripada oleh
individu yang disosialisasi. Pendidikan politik dapat dilakukan di keluarga,
sekolah, lembaga-lembaga politik atau pemerintah dan berbagai kelompok dan
organisasi yang tidak terhitung jumlahnya. Pendidikan politik sangat penting
bagi kelestarian suatu system politik. Di satu pihak, warga Negara memerukan
informasi minimaltentang hak-hak dan kewajiban yang mereka mliki untuk dapat
memasuki arena kehidupan politik. Di lain pihak, warga Negara juga harus
memperoleh pengetahuan mengenai seberapa jauh hak-hak mereka telah dipenuhi
oleh pemerintah dan jika hal ini terjadi, stabilitas politik pemerintahan dapat
terpelihara.
4)
Pengalaman Politik
Kebanyakan
dari apa yang oleh seseorang diketahui dan diyakini sebagai politik pada
kenyataannya berasal dari pengamatan-pengamatan dan pengalamn-pengalamannya
didalam proses politik.
3.
SARANA SOSIALISASI POLITIK
1.
Keluarga
Merupakan
agen sosialisasi pertama yang dialami seseorang. Keluarga memiliki pengaruh
besar terhadap anggota-anggotanya. Pengaruh yang paling jelas adalah dalam hal
pembentukan sikap terhadap wewenang kekuasaan. Bagi anak, keputusan bersama
yang dibuat di keluarga bersifat otoritatif, dalam arti keengganan untuk
mematuhinya dapat mendatangkan hukuman. Pengalaman berpartisipasi dalam
pembuatan keputusan keluarga dapat meningkatkan perasaan kompetensi politik si
anak, memberikannya kecakapan-kecakapan untuk melakukan interaksi politik dan
membuatnya lebih mungkin berpartisipasi secara aktif dalam sistem politik
sesudah dewasa.
2.
Sekolah
Sekolah
memainkan peran sebagai agen sosialisasi politik melalui kurikulum pengajaran
formal, beraneka ragam kegiatan ritual sekolah dan kegiatan-kegiatan guru.
Sekolah melalui kurikulumnya memberikan pandangan-pandangan yang kongkrit tentang lembaga-lembaga politik dan hubungan-hubungan politik. Ia juga dapat memegang peran penting dalam pembentukan sikap terhadap aturan permainan politik yang tak tertulis. Sekolah pun dapat mempertebal kesetiaan terhadap system politik dan memberikan symbol-simbol umum untuk menunjukkan tanggapan yang ekspresif terhadap system tersebut.
Peranan sekolah dalam mewariskan nilai-nilai politik tidak hanya terjadi melalui kurikulum sekolah. Sosialisasi juga dilakukan sekolah melalui berbagai upacara yang diselenggarakan di kelas maupun di luar kelas dan berbagai kegiatan ekstra yang diselenggarakan oleh OSIS.
Sekolah melalui kurikulumnya memberikan pandangan-pandangan yang kongkrit tentang lembaga-lembaga politik dan hubungan-hubungan politik. Ia juga dapat memegang peran penting dalam pembentukan sikap terhadap aturan permainan politik yang tak tertulis. Sekolah pun dapat mempertebal kesetiaan terhadap system politik dan memberikan symbol-simbol umum untuk menunjukkan tanggapan yang ekspresif terhadap system tersebut.
Peranan sekolah dalam mewariskan nilai-nilai politik tidak hanya terjadi melalui kurikulum sekolah. Sosialisasi juga dilakukan sekolah melalui berbagai upacara yang diselenggarakan di kelas maupun di luar kelas dan berbagai kegiatan ekstra yang diselenggarakan oleh OSIS.
3.
Kelompok Pertemanan (Pergaulan)
Kelompok
pertemanan mulai mengambil penting dalam proses sosialisasi politik selama masa
remaja dan berlangsung terus sepanjang usia dewasa. Takott Parson menyatakan
kelompok pertemanan tumbuh menjadi agen sosialisasi politik yang sangat penting
pada masa anak-anak berada di sekolah menengah atas. Selama periode ini, orang
tua dan guru-guru sekolah sebagai figur otoritas pemberi transmitter proses
belajar sosial, kehilangan pengaruhnya. Sebaliknya peranan kelompok-kelompok
klik, gang-gang remaja dan kelompok-kelompok remaja yang lain menjadi semakin
penting. Pengaruh sosialisasi yang penting dari kelompok pertemanan bersumber
di dalam factor-faktor yang membuat peranan keluarga menjadi sangat penting
dalam sosialisasi politik yaitu:
a.
Akses yang sangat ekstensif dari kelompok-kelompok pertemanan terhadap anggota
mereka.
b.
Hubungan-hubungan pribadi yang secara emosional berkembang di dalamnya.
Kelompok pertemanan mempengaruhi pembentukan orientasi politik individu melalui beberapa cara yaitu:
Kelompok pertemanan mempengaruhi pembentukan orientasi politik individu melalui beberapa cara yaitu:
a.
Kelompok pertemanan adalah sumber sangat penting dari informasi dan sikap-sikpa
tentang dunia social dan politik. Kelompok pertemanan berfungsi sebagai
“communication channels”.
b.
Kelompok pertemanan merupakn agen sosialisasi politik sangat penting karena ia
melengkapi anggota-anggotanya dengan konsepsi politik yang lebih khusus tentang
dunia politik.
c.
Mensosialisasi individu dengan memotivasi atau menekan mereka untuk
menyesuaikan diri dengan sikap-sikap dan perilaku yang diterima oleh kelompok.
Di satu pihak, kelompok pertemanan menekan individu untuk menerima
orientasi-orientasi dan perilaku tertentu dengna cara mengancam memberikan
hukuman kepada mereka yang melakukan penyimpangan terhadap norma-norma
keluarga, seperti melecehkan atau tidak menaruh perhatian kepad amereka yang
menyimpang.
4.
Pekerjaan
Organisasi-organisasi
formal maupun non formal yang dibentuk berdasarkan lingkungan pekerjaan,
seperti serikat buruh, klub social dan yang sejenisnya merupakan saluran
komunikasi informasi dan keyakinan yang jelas.
5.
Media Massa
Media
massa seperti surat kabar, radio, majalah, televise dan internet memegang peran
penting dalam menularkan sikap-sikap dan nilai-nilai modern kepada
bangsa-bangsa baru merdeka. Selain memberikan infoprmasi tentang
informasi-informasi politik, media massa juga menyampaika nilai-nili utama yang
dianut oleh masyarakatnya.
6.
Kontak-kontak Politik Langsung
Tidak
peduli betapa positifnya pandangan terhadap system poltik yang telah ditanamkan
oleh eluarga atau sekolah, tetapi bila seseorang diabaikan oleh partainya,
ditipu oleh polisi, kelaparan tanpa ditolong, mengalami etidakadilan, atau
teraniaya oleh militer, maka pandangan terhadap dunia politik sangat mungkin
berubah.
4.
PERANAN PARTAI POLITIK DALAM SOSIALISASI BUDAYA POLITIK
A.
PENGERTIAN PARTAI POLITIK
Di
bawah mi disampaikan beberapa definisi mengenai partai politik:
Carl
J. Fredirch, mendefinisikan partai politik adalah:
“Sekelompok
manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau
mempertahankan pengawasan terhadap pemerintah bagi pimpinan partainya dan
berdasarkan pengawasan mi memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang
bersifat ideal maupun material” (a political party is a group of human beings
stability organized with the objective of giving to members of the party,
trough such control ideal and material benefits and advantages.
Raymond
Garfield Gettel memberi batasan bahwa:
“Partai
politik terdiri dan sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir,
yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memakai kekuasaan
memilih bertujuan mengawasi pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum
mereka” (a political party of a group of citizens, more or less organized who
act s political unit and who, by the use of their voting power and to control
the government and carry out their general polingles.
Menurut
George B Huszr dan Thomas H. Stevenson, partai politik adalah:
“Sekelompok
orang-orang yang terorganisir untuk ikut serta
mengendalikan pemerintahan, agar dapat melaksanakan programnya dalam jabatan” (a political party is a group at people organized to sucure control ‘f government morder to puts program in to effect and it member in offce).”
Sigmund Neumann dalam karangannya “Modern Political Parties” bahwa definisi partai adalah:
mengendalikan pemerintahan, agar dapat melaksanakan programnya dalam jabatan” (a political party is a group at people organized to sucure control ‘f government morder to puts program in to effect and it member in offce).”
Sigmund Neumann dalam karangannya “Modern Political Parties” bahwa definisi partai adalah:
“Organisasi
dan aktivitas-aktivitas politik yang berusaha untuk menguasai pemerintahan
serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan satu golongan atau
golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda” (a political
party terniiculate organization of society as active political agent those who
are conserned with the control of the governmental power and who compete for
popular support with another group holding divergent view).’2
Suatu batasajauh lebih sederhana dan batasan yang dikemukakan oleh Neumann, dikemukakan oleh RH. Soltau. Dalam hal mi Soultau menyatakan:
Suatu batasajauh lebih sederhana dan batasan yang dikemukakan oleh Neumann, dikemukakan oleh RH. Soltau. Dalam hal mi Soultau menyatakan:
“Partai
politik adalah sekelompok warga Negara yang sedikit banyak terorganisir, yang
bertindak sebagai satu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan
kekuasaannya untuk memilih bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan
melaksanakan kebijakan umum mereka” (a political party is a group of citizen
more or less organized, who act as a political unit and who, bay the use of
their voting power, aim to control the government and carry out their general
politicies). 13
Secara
umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang
terorganisir yang anggota-anggota mempunyai orientasi nilai-nilai dan citacita
yang sama.
Menurut
George B Huszr dan Thomas H. Stevenson, partai politik adalah:
“Sekelompok
orang-orang yang terorganisir untuk ikut serta
mengendalikan pemerintahan, agar dapat melaksanakan programnya dalam jabatan” (a political party is a group at people organized to sucure control ‘f government morder to puts program in to effect and it member in offce).”
Sigmund Neumann dalam karangannya “Modern Political Parties” bahwa definisi partai adalah:
mengendalikan pemerintahan, agar dapat melaksanakan programnya dalam jabatan” (a political party is a group at people organized to sucure control ‘f government morder to puts program in to effect and it member in offce).”
Sigmund Neumann dalam karangannya “Modern Political Parties” bahwa definisi partai adalah:
“Organisasi
dan aktivitas-aktivitas politik yang berusaha untuk menguasai pemerintahan
serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan satu golongan atau
golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda” (a political
party terniiculate organization of society as active political agent those who
are conserned with the control of the governmental power and who compete for
popular support with another group holding divergent view).’2
Suatu batasajauh lebih sederhana dan batasan yang dikemukakan oleh Neumann, dikemukakan oleh RH. Soltau. Dalam hal mi Soultau menyatakan:
Suatu batasajauh lebih sederhana dan batasan yang dikemukakan oleh Neumann, dikemukakan oleh RH. Soltau. Dalam hal mi Soultau menyatakan:
“Partai
politik adalah sekelompok warga Negara yang sedikit banyak terorganisir, yang
bertindak sebagai satu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan
kekuasaannya untuk memilih bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan
melaksanakan kebijakan umum mereka” (a political party is a group of citizen
more or less organized, who act as a political unit and who, bay the use of
their voting power, aim to control the government and carry out their general
politicies). 13
Secara
umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang
terorganisir yang anggota-anggota mempunyai orientasi nilai-nilai dan citacita
yang sama.
B.
MACAM – MACAM PARTAI POLITIK
Menurut
Haryanto, parpol dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya secara umum
dapat dibagi mejadi dua kategori, yaitu:
1.
Partai Massa,
dengan
ciri utamanya adalah jumlah anggota atau pendukung yang banyak. Meskipun demikian,
parta jenis ini memiliki program walaupun program tersebut agak kabur dan
terlampau umum. Partai jenis ini cenderung menjadi lemah apabila golongan atau
kelompok yang tergabung dalam partai tersebut mempunyai keinginan untuk
melaksanakan kepentingan kelompoknya. Selanjutnya, jika kepentingan kelompok
tersebut tidak terakomodasi, kelompok ini akan mendirikan partai sendiri;
2.
Partai Kader,
kebalikan
dari partai massa, partai kader mengandalkan kader-kadernya untuk loyal.
Pendukung partai ini tidak sebanyak partai massa karena memang tidak
mementingkan jumlah, partai kader lebih mementingkan disiplin anggotanya dan
ketaatan dalam berorganisasi. Doktrin dan ideologi partai harus tetap terjamin
kemurniannya. Bagi anggota yang menyeleweng, akan dipecat keanggotaannya.
(Haryanto: dalam buku suntingan Toni Adrianus Pito, Efriza, dan Kemal Fasyah; Mengenal Teori-Teori Politik. Cetakan I November 2005, Depok. Halaman 567-568)
(Haryanto: dalam buku suntingan Toni Adrianus Pito, Efriza, dan Kemal Fasyah; Mengenal Teori-Teori Politik. Cetakan I November 2005, Depok. Halaman 567-568)
Sedangkan
tipologi berdasarkan tingkat komitmen partai terhadap ideologi dan kepentingan,
menurut Ichlasul Amal terdapat lima jenis partai politik, yakni:
1.
Partai Proto,
adalah
tipe awal partai politik sebelum mencapai tingkat perkembangan seperti dewasa
ini. Ciri yang paling menonjol partai ini adalah pembedaan antara kelompok
anggota atau “ins” dengan non-anggota “outs”. Selebihnya partai ini belum
menunjukkan ciri sebagai partai politik dalam pengertian modern. Karena itu
sesungguhnya partai ini adalah faksi yang dibentuk berdasarkan pengelompokkan
ideologi masyarakat;
2.
Partai Kader,
merupakan
perkembangan lebih lanjut dari partai proto. Keanggotaan partai ini terutama
berasal dari golongan kelas menengah ke atas. Akibatnya, ideologi yang dianut
partai ini adalah konservatisme ekstrim atau maksimal reformis moderat;
3. Partai Massa, muncul saat terjadi perluasan hak pilih rakyat sehingga dianggap sebagai respon politis dan organisasional bagi perluasan hak-hak pilih serta pendorong bagi perluasan lebih lanjut hak-hak pilih tersebut. Partai massa berorientasi pada pendukungnya yang luas, misalnya buruh, petani, dan kelompok agama, dan memiliki ideologi cukup jelas untuk memobilisasi massa serta mengembangkan organisasi yang cukup rapi untuk mencapai tujuan-tujuan ideologisnya;
3. Partai Massa, muncul saat terjadi perluasan hak pilih rakyat sehingga dianggap sebagai respon politis dan organisasional bagi perluasan hak-hak pilih serta pendorong bagi perluasan lebih lanjut hak-hak pilih tersebut. Partai massa berorientasi pada pendukungnya yang luas, misalnya buruh, petani, dan kelompok agama, dan memiliki ideologi cukup jelas untuk memobilisasi massa serta mengembangkan organisasi yang cukup rapi untuk mencapai tujuan-tujuan ideologisnya;
4.
Partai Diktatorial,
sebenarnya
merupakan sub tipe dari parti massa, tetapi meliki ideologi yang lebih kaku dan
radikal. Pemimpin tertinggi partai melakukan kontrol yang sangat ketat terhadap
pengurus bawahan maupun anggota partai. Rekrutmen anggota partai dilakukan
secara lebih selektif daripada partai massa;
5.
Partai Catch-all,
merupakan
gabungan dari partai kader dan partai massa. Istilah Catch-all pertama kali di
kemukakan oleh Otto Kirchheimer untuk memberikan tipologi pada kecenderungan
perubahan karakteristik. Catch-all dapat diartikan sebagai “menampung
kelompok-kelompok sosial sebanyak mungkin untuk dijadikan anggotanya”. Tujuan
utama partai ini adalah memenangkan pemilihan dengan cara menawarkan
program-program dan keuntungan bagi anggotanya sebagai pengganti ideologi yang
kaku
(Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir Partai Politik Edisi Revisi. Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996)
Menurut Peter Schroder, tipologi berdasarkan struktur organisasinya terbagi menjadi tiga macam yaitu;
(Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir Partai Politik Edisi Revisi. Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996)
Menurut Peter Schroder, tipologi berdasarkan struktur organisasinya terbagi menjadi tiga macam yaitu;
1.
Partai Para Pemuka Masyarakat, berupa gabungan yang tidak terlalu ketat, yang
pada umumnya tidak dipimpin secara sentral ataupun profesional, dan yang pada
kesempatan tertentu sebelum pemilihan anggota parlemen mendukung
kandidat-kandidat tertentu untuk memperoleh suatu mandat;
2.
Partai Massa, sebagai jawaban terhadap tuntutan sosial dalam masyarakat
industrial, maka dibentuklah partai-partai yang besar dengan banyak anggota
dengan tujuan utama mengumpulkan kekuatan yang cukup besar untuk dapat membuat
terobosan dan mempengaruhi pemerintah dan masyarakat, serta “mempertanyakan
kekuasaan”;
3.
Partai Kader, partai ini muncul sebagai partai jenis baru dengan berdasar pada
Lenin. Mereka dapat dikenali berdasarkan organisasinya yang ketat, juga karena
mereka termasuk kader/kelompok orang terlatih yang personilnya terbatas. Mereka
berpegangan pada satu ideologi tertentu, dan terus menerus melakukan
pembaharuan melalui sebuah pembersihan yang berkseninambungan.
C.
SISTEM KEPARTAIAN
Sistem
kepartaian adalah “pola kompetisi terus-menerus dan bersifat stabil, yang
selalu tampak di setiap proses pemilu tiap negara.” Sistem kepartaian
bergantung pada jenis sistem politik yang ada di dalam suatu negara. Selain
itu, ia juga bergantung pada kemajemukan suku, agama, ekonomi, dan aliran
politik yang ada. Semakin besar derajat perbedaan kepentingan yang ada di
negara tersebut, semakin besar pula jumlah partai politik. Selain itu,
sistem-sistem politik yang telah disebutkan, turut mempengaruhi sistem
kepartaian yang ada.
Sistem
kepartaian belumlah menjadi seni politik yang mapan. Artinya, tata cara
melakukan klasifikasi sistem kepartaian belum disepakati oleh para peneliti
ilmu politik. Namun, yang paling mudah dan paling banyak dilakukan peneliti
adalah menurut jumlah partai yang berkompetisi dalam sistem politik.
Sistem
partai di Negara manapun dalam suatu jangka waktu tertentu memiliki persamaan –
persamaan dan perbedaan – perbedaan sistem yaitu;
- sistem partai pluralistis
- sistem partai dominant
D.
SYARAT – SYARAT PENDIRIAN PARTAI POLITIK
1.
Partai politik harus didirikan oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang
warga
negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun.
2.
Dalam pendirian dan pembentukan partai politik harus menyertakan
30%
(tiga puluh persen) keterwakilan perempuan.
3.
Pendirian Partai Politik harus disertai dengan akta notaris. Dalam akta
notaris
tersebut harus memuat Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran
Rumah
Tangga (ART) serta kepengurusan partai politik tingkat pusat.
4.
Anggaran Dasar (AD) partai politik memuat paling sedikit:
a.
asas dan ciri partai politik;
b.
visi dan misi partai politik
c.
nama, lambang, dan tanda gambar partai politik;
d.
tujuan dan fungsi partai politik;
e.
organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan;
f.
kepengurusan partai politik;
g.
peraturan dan keputusan partai politik;
h.
pendidikan politik; dan
i.
keuangan partai politik
4.
Kepengurusan partai politik tingkat pusat disusun dengan
menyertakan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen)
keterwakilan
perempuan.
5.
Kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota
disusun
dengan memperhatikan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
persen)
keterwakilan perempuan yang diatur dalam AD dan ART partai
politik
masing-masing.
E.
TUJUAN PARTAI POLITIK
Tujuan
umum Partai Politik adalah :
a.
Mewujudkan cita-cita nasional Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
b.
Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c.
Tujuan khusus Partai Politik adalah memperjuangkan cita-cita para anggotanya
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
F.
FUNGSI PARTAI POLITIK
Adapun
fungsi partai politik, menurut Sigmund Neumann (1981), ada 4 (empat) yaitu :
1.
fungsi agregasi.
Partai
menggabungkan dan mengarahkan kehendak umum masyarakat yang kacau. Sering kali
masyarakat merasakan dampak negatif suatu kebijakan pemerintah, misalnya
kenaikan BBM di Indonesia 1 Oktober 2005 lalu yang demikian tinggi. Namun
ketidakpuasan mereka kadang diungkapkan dengan berbagai ekspresi yang tidak
jelas dan bersifat sporadis. Maka partai mengagregasikan berbagai reaksi dan
pendapat masyarakat itu menjadi suatu kehendak umum yang terfokus dan
terumuskan dengan baik.
2.
fungsi edukasi.
Partai
mendidik masyarakat agar memahami politik dan mempunyai kesadaran politik
berdasarkan ideologi partai. Tujuannya adalah mengikutsertakan masyarakat dalam
politik sedemikian sehingga partai mendapat dukungan masyarakat. Cara yang
ditempuh misalnya dengan memberi penerangan atau agitasi menyangkut kebijakan
negara serta menjelaskan arah mana yang diinginkan partai agar masyarakat turut
terlibat perjuangan politik partai.
3.
fungsi artikulasi.
Partai
merumuskan dan menyuarakan (mengartikulasikan) berbagai kepentingan masyarakat
menjadi suatu usulan kebijakan yang disampaikan kepada pemerintah agar
dijadikan suatu kebijakan umum (public policy). Fungsi ini sangat dipengaruhi
oleh jumlah kader suatu partai, karena fungsi ini mengharuskan partai terjun ke
masyarakat dalam segala tingkatan dan lapisan. Bila fungsi ini dilakukan
ditambah dengan fungsi edukasi, ia akan menjadi komunikasi dan sosialisasi
politik yang sangat efektif dari partai yang selanjutnya akan menjadi lem
perekat antara partai dan massa.
4.
fungsi rekrutmen.
Ini
berarti partai melakukan upaya rekrutmen, baik rekrutmen politik dalam arti
mendudukan kader partai ke dalam parlemen yang menjalankan peran legislasi dan
koreksi maupun ke dalam lembaga-lembaga pemerintahan, maupun rekrutmen partai
dalam arti menarik individu masyarakat untuk menjadi kader baru ke dalam
partai. Rekrutmen politik dilakukan dengan jalan mengikuti pemilihan umum dalam
segala tahapannya hingga proses pembentukan kekuasaan. Karenanya, fungsi ini
sering disebut juga fungsi representasi.
Sedangkan menurut Roy Macridis, fungsi-fungsi partai sebagai berikut: (a) Representatif (perwakilan), (b) Konvensi dan Agregasi, (c) Integrasi (partisipasi, sosialisasi, mobilisasi), (d) Persuasi, (e) Represi, (f) Rekrutmen, (g) Pemilihan pemimpin, (h) Pertimbangan-pertimbangan, (i) Perumusan kebijakan, serta (j) Kontrol terhadap pemerintah. (Macridis : dalam buku karya Ichlasul Amal, Teori-teori Mutakhir Partai Politik. Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1988).
Sedangkan menurut Roy Macridis, fungsi-fungsi partai sebagai berikut: (a) Representatif (perwakilan), (b) Konvensi dan Agregasi, (c) Integrasi (partisipasi, sosialisasi, mobilisasi), (d) Persuasi, (e) Represi, (f) Rekrutmen, (g) Pemilihan pemimpin, (h) Pertimbangan-pertimbangan, (i) Perumusan kebijakan, serta (j) Kontrol terhadap pemerintah. (Macridis : dalam buku karya Ichlasul Amal, Teori-teori Mutakhir Partai Politik. Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1988).
G.
HAK PARTAI POLITIK
- Perlakuan sama adil, sederajat
dari negara
- Mengatur RTO secara mandiri
- Ikut pemilu
- Mencalonkan pres & wapres
dll.
H.
KEWAJIBAN PARTAI POLITIK
- Mengamalkan Pancasila dan UUD
1945
- Menjaga keutuhan NKRI
- Menjunjung tinggi hukum,
demokrasi, HAM
- Menyukseskan PEMILU dan
Pembangunan dll.
B.
PERAN SERTA BUDAYA POLITIK PARTISIPAN
Partisipasi
secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini
mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik.
Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung
keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena
kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik.
Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan,
mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan,
termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.
Konsep
partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative
democracy atau demokrasi musawarah. Pemikiran demokrasi musyawarah muncul
antara lain terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat yang
terlihat dengan rendahnya tingkat pemilih (hanya berkisar 50 – 60 %).
Besarnya kelompok yang tidak puas atau tidak merasa perlu terlibat dalam proses
politik perwakilan menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang dengan
konsep deliberative democracy.
Di
Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu
pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang
sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan. Misalnya ungkapan
pemimpin “Saya mengharapkan partispasi masyarakat untuk menghemat BBM dengan
membatasi penggunaan listrik di rumah masihng-masing”. Sebaliknya jarang kita
mendengar ungkapan yang menempatkan warga sebagai aktor utama pembuatan
keputusan.
Dengan
meilhat derajat partisipasi politik warga dalam proses politik rezim atau
pemerintahan bisa dilihat dalam spektrum:
- Rezim otoriter – warga tidak
tahu-menahu tentang segala kebijakan dan keputusan politik
- Rezim patrimonial – warga
diberitahu tentang keputusan politik yang telah dibuat oleh para pemimpin,
tanpa bisa mempengaruhinya.
- Rezim partisipatif – warga bisa
mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh para pemimpinnya.
- Rezim demokratis – warga
merupakan aktor utama pembuatan keputusan politik.
1.
PENYEBAB TIMBULNYA GERAKAN KEARAH PARTISIPASI POLITIK
Menurut
Myron Weiner, terdapat lima penyebab timbulnya gerakan ke arah partisipasi
lebih luas dalam proses politik, yaitu sebagai berikut :
a.
Modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang menyebabkan masyarakat makin
banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik.
b.
Perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Masalah siapa yang berhak
berpartisipasi dan pembuatan keputusan politik menjadi penting dan
mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik.
c.
Pengaruh kaum intelektual dan kemunikasi masa modern. Ide demokratisasi
partisipasi telah menyebar ke bangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan
modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang.
d.
Konflik antar kelompok pemimpin politik, jika timbul konflik antar elite, maka
yang dicari adalah dukungan rakyat. Terjadi perjuangan kelas menentang melawan
kaum aristokrat yang menarik kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih
rakyat.
e.
Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan
kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang
timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisasi akan kesempatan untuk ikut serta
dalam pembuatan keputusan politik.
2.
JENIS – JENIS PARTISIPASI POLITIK
Partisipasi
politik sangat terkait erat dengan seberapa jauh demokrasi diterapkan dalam
pemerintahan. Negara yang telah stabil demokrasinya, maka biasanya tingkat
partisipasi politik warganya sangat stabil, tidak fluktuatif. Negara yang
otoriter kerap memakai kekerasan untuk memberangus setiap prakarsa dan
partisipasi warganya. Karenanya, alih-alih bentuk dan kuantitas partisipasi
meningkat, yang terjadi warga tak punya keleluasaan untuk otonom dari
jari-jemari kekuasaan dan tak ada partisipasi sama sekali dalam pemerintahan
yang otoriter. Negara yang sedang meniti proses transisi dari otoritarianisme
menuju demokrasi galib disibukkan dengan frekuensi partisipasi yang meningkat
tajam, dengan jenis dan bentuk partisipasi yang sangat banyak, mulai dari yang
bersifat “konstitusional” hingga yang bersifat merusak sarana umum.
Karena begitu luasnya cakupan tindakan warga negara biasa dalam menyuarakan aspirasinya, maka tak heran bila bentuk-bentuk partisipasi politik ini sangat beragam. Secara sederhana, jenis partisipasi politik terbagi menjadi dua: Pertama, partisipasi secara konvensional di mana prosedur dan waktu partisipasinya diketahui publik secara pasti oleh semua warga. Kedua, partisipasi secara non-konvensional. Artinya, prosedur dan waktu partisipasi ditentukan sendiri oleh anggota masyarakat yang melakukan partisipasi itu sendiri (PPIM, 2001).
Jenis partisipasi yang pertama, terutama pemilu dan kampanye. Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan dalam pemilu menunjukkan sejauhmana tingkat partisipasi konvensional warganegara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu, secara sederhana, menunjukkan komitmen partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilu bukan berarti ia tak punya kepedulian terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara golput.
Partisipasi politik yang kedua biasanya terkait dengan aspirasi politik seseorang yang merasa diabaikan oleh institusi demokrasi, dan karenanya, menyalurkannya melalui protes sosial atau demonstrasi. Wujud dari protes sosial ini juga beragam, seperti memboikot, mogok, petisi, dialog, turun ke jalan, bahkan sampai merusak fasilitas umum.
Karena begitu luasnya cakupan tindakan warga negara biasa dalam menyuarakan aspirasinya, maka tak heran bila bentuk-bentuk partisipasi politik ini sangat beragam. Secara sederhana, jenis partisipasi politik terbagi menjadi dua: Pertama, partisipasi secara konvensional di mana prosedur dan waktu partisipasinya diketahui publik secara pasti oleh semua warga. Kedua, partisipasi secara non-konvensional. Artinya, prosedur dan waktu partisipasi ditentukan sendiri oleh anggota masyarakat yang melakukan partisipasi itu sendiri (PPIM, 2001).
Jenis partisipasi yang pertama, terutama pemilu dan kampanye. Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan dalam pemilu menunjukkan sejauhmana tingkat partisipasi konvensional warganegara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu, secara sederhana, menunjukkan komitmen partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilu bukan berarti ia tak punya kepedulian terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara golput.
Partisipasi politik yang kedua biasanya terkait dengan aspirasi politik seseorang yang merasa diabaikan oleh institusi demokrasi, dan karenanya, menyalurkannya melalui protes sosial atau demonstrasi. Wujud dari protes sosial ini juga beragam, seperti memboikot, mogok, petisi, dialog, turun ke jalan, bahkan sampai merusak fasilitas umum.
1.
Partisipasi Politik di Negara Demokrasi
Di
negara demokrasi, partisipasi dapat ditunjukan di pelbagai kegiatan. Biasanya
dibagi – bagi jenis kegiatan berdasarkan intensitas melakukan kegiatan
tersebut. Ada kegiatan yang yang tidak banyak menyita waktu dan yang biasanya
tidak berdasarkan prakarsa sendiri besar sekali jumlahnya dibandingkan dengan
jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan diri dalam politik.
Kegiatan sebagai aktivis politik ini mencakup antara lain menjadi pimpinan
partai atau kelompok kepentingan.
Di Negara yang menganut paham demokrasi, bentuk partisipasi politik masyarakat yang paling mudah diukur adalah ketika pemilihan umum berlangsung. Prilaku warga Negara yang dapat dihitung itensitasnya adalah melalui perhitungan persentase orang yang menggunakan hak pilihnya ( voter turnout ) disbanding dengan warga Negara yang berhak memilih seluruhnya.
Di Amerika Serikat umumnya voter turnout lebih rendah dari Negara – Negara eropa barat. Orang Amerika tidak terlalu bergairah untuk member suara dalam pemilihan umum. Akan tetapi mereka lebih aktif mencari pemecahan berbagai masalah masyarakat serta lingkungan melalui kegiatan lain, dan menggabungkan diri dengan organisasi organisasi seperti organisasi politik, bisnis, profesi dan sebagainya.
Di Negara yang menganut paham demokrasi, bentuk partisipasi politik masyarakat yang paling mudah diukur adalah ketika pemilihan umum berlangsung. Prilaku warga Negara yang dapat dihitung itensitasnya adalah melalui perhitungan persentase orang yang menggunakan hak pilihnya ( voter turnout ) disbanding dengan warga Negara yang berhak memilih seluruhnya.
Di Amerika Serikat umumnya voter turnout lebih rendah dari Negara – Negara eropa barat. Orang Amerika tidak terlalu bergairah untuk member suara dalam pemilihan umum. Akan tetapi mereka lebih aktif mencari pemecahan berbagai masalah masyarakat serta lingkungan melalui kegiatan lain, dan menggabungkan diri dengan organisasi organisasi seperti organisasi politik, bisnis, profesi dan sebagainya.
2.
Partisipasi Politik di Negara Otoriter
Di
Negara otoriter seperti komunis, partisipasi masa diakui kewajarannya, karena
secara formal kekuasaan ada di tangan rakyat. Tetapi tujuan yang utama dari
partisipasi massa dalam masa pendek adalah untuk merombak masyarakat yang
terbelakang menjadi masyarakat modern dan produktif. Hal ini memerlukan
pengarahan yang ketat dari monopoli partai politik.
Terutama, persentase yang tinggi dalam pemilihan umum dinilai dapat memperkuat keabsahan sebuah rezim di mata dunia. Karena itu, rezim otoriter selalu mengusahakan agar persentase pemilih mencapai angka tinggi. Akan tetapi perlu diingat bahwa umumnya system pemilihan di Negara otoriter berbeda dengan system pemilihan di Negara Demokrasi, terutama karena hanya ada satu calon untuk setiap kursi yang diperebutkan, dan para calon tersebut harus melampaui suatu proses penyaringan yang ditentukan dan diselenggarakan oleh partai komunis.
Di luar pemilihan umum, partisipasi politik juga dapat di bina melalui organisasi – organisasi yang mencakup golongan pemuda, golongan buruh, serta organisasi – organisasi kebudayaan. Melalui pembinaan yang ketat potensi masayarakat dapat dimanfaatkan secara terkontrol. Partisipasi yang bersifat community action terutama di Uni soviet dan China sangat intensif dan luas. Melebihi kegiatan Negara demokrasi di Barat. Tetapi ada unsur mobilisasi partisipasi di dalamnya karena bentuk dan intensitas partisipasi ditentukan oleh partai.
Di Negara – Negara otoriter yang sudah mapan seperti China menghadapi dilema bagaimana memperluas partisipasi tanpa kehilangan kontrol yang dianggap mutlak diperlukan untuk tercapainya masyarakat yang diharapkan. Jika kontrol ini dikendorkan untuk meningkatkan partisipasi, maka ada bahaya yang nantinya akan menimbulkan konflik yang akan mengganggu stabilitas. Seperti yang dilakuakn oleh China di tahun 1956/1957. Pada saat itu dicetuskannya gerakan “Kampanye Seratus Bunga” yaitu dimana masyarakat diperbolehkan untuk menyampaikan kritik. Namun pengendoran kontrol ini tidak berlangsung lama, karena ternyata tajamnya kritik yang disuarakan dianggap mengganggu stabilitas nasional. Sesuda terjadi tragedy Tiananmen Square pada tahun 1989, ketika itu ratusan mahasiswa kehilangan nyawanya dalam bentrokan dengan aparat, dan akhirnya pemerintah memperketat kontrol kembali.
Terutama, persentase yang tinggi dalam pemilihan umum dinilai dapat memperkuat keabsahan sebuah rezim di mata dunia. Karena itu, rezim otoriter selalu mengusahakan agar persentase pemilih mencapai angka tinggi. Akan tetapi perlu diingat bahwa umumnya system pemilihan di Negara otoriter berbeda dengan system pemilihan di Negara Demokrasi, terutama karena hanya ada satu calon untuk setiap kursi yang diperebutkan, dan para calon tersebut harus melampaui suatu proses penyaringan yang ditentukan dan diselenggarakan oleh partai komunis.
Di luar pemilihan umum, partisipasi politik juga dapat di bina melalui organisasi – organisasi yang mencakup golongan pemuda, golongan buruh, serta organisasi – organisasi kebudayaan. Melalui pembinaan yang ketat potensi masayarakat dapat dimanfaatkan secara terkontrol. Partisipasi yang bersifat community action terutama di Uni soviet dan China sangat intensif dan luas. Melebihi kegiatan Negara demokrasi di Barat. Tetapi ada unsur mobilisasi partisipasi di dalamnya karena bentuk dan intensitas partisipasi ditentukan oleh partai.
Di Negara – Negara otoriter yang sudah mapan seperti China menghadapi dilema bagaimana memperluas partisipasi tanpa kehilangan kontrol yang dianggap mutlak diperlukan untuk tercapainya masyarakat yang diharapkan. Jika kontrol ini dikendorkan untuk meningkatkan partisipasi, maka ada bahaya yang nantinya akan menimbulkan konflik yang akan mengganggu stabilitas. Seperti yang dilakuakn oleh China di tahun 1956/1957. Pada saat itu dicetuskannya gerakan “Kampanye Seratus Bunga” yaitu dimana masyarakat diperbolehkan untuk menyampaikan kritik. Namun pengendoran kontrol ini tidak berlangsung lama, karena ternyata tajamnya kritik yang disuarakan dianggap mengganggu stabilitas nasional. Sesuda terjadi tragedy Tiananmen Square pada tahun 1989, ketika itu ratusan mahasiswa kehilangan nyawanya dalam bentrokan dengan aparat, dan akhirnya pemerintah memperketat kontrol kembali.
3.
Partisipasi Politik di Negara Berkembang
Negara
berkembang adalah negara – Negara baru yang ingin cepat mengadakan pembangunan
untuk mengejar ketertinggalannya dari Negara maju. Hal ini dilakukan karena
menurut mereka berhasil atau tidaknya pembangunan itu tergantung dari
partisipasi rakyat. Peran sertanya masyarakat dapat menolong penanganan masalah
– masalah yang timbul dari perbedaan etnis, budaya, status sosial, ekonomi,
agama dan sebagainya. Pembentukan identitas nasional dan loyalitas diharapkan
dapat menunjang pertumbuhannya melalui partisipasi politik.
Di beberapa Negara berkembang partisipasi bersifat otonom, artinya lahir dari diri mereka sendiri, masih terbatas. Oleh karena itu jika hal ini terjadi di Negara- Negara maju sering kali dianggap sebagai tanda adanya kepuasan terhadap pengelolaan kehidupan politik. Tetapi jika hal itu terjadi di Negara berkembang, tidak selalu demikian halnya. Di beberapa Negara yang rakyatnya apatis, pemerintah menghadapi menghadapi masalah bagaimana caranya meningkatkan partisipasi itu, sebab jika tidak partisipasi akan menghadapi jalan buntu, dapat menyebabkan dua hal yaitu menimbulkan anomi atau justru menimbulkan revolusi.
Di beberapa Negara berkembang partisipasi bersifat otonom, artinya lahir dari diri mereka sendiri, masih terbatas. Oleh karena itu jika hal ini terjadi di Negara- Negara maju sering kali dianggap sebagai tanda adanya kepuasan terhadap pengelolaan kehidupan politik. Tetapi jika hal itu terjadi di Negara berkembang, tidak selalu demikian halnya. Di beberapa Negara yang rakyatnya apatis, pemerintah menghadapi menghadapi masalah bagaimana caranya meningkatkan partisipasi itu, sebab jika tidak partisipasi akan menghadapi jalan buntu, dapat menyebabkan dua hal yaitu menimbulkan anomi atau justru menimbulkan revolusi.
Faktor-faktor
Yang Mempengaruhi
Partisipasi Politik Masyarakat
Partisipasi Politik Masyarakat
1.
Faktor Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga.
Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga.
2.
Faktor Politik
Arnstein
S.R (1969) peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk
menentukan suatu produk akhir. Faktor politik meliputi :
a.
Komunikasi Politik.
Komunikasi
politik adalah suatu komunikasi yang mempunyai konsekuensi politik baik secara
aktual
maupun potensial, yang mengatur kelakuan manusia dalam keberadaan suatu konflik. (Nimmo, 1993:8). Komunikasi politik antara pemerintah dan rakyat sebagai interaksi antara dua pihak yang menerapkan etika (Surbakti, 1992:119)
maupun potensial, yang mengatur kelakuan manusia dalam keberadaan suatu konflik. (Nimmo, 1993:8). Komunikasi politik antara pemerintah dan rakyat sebagai interaksi antara dua pihak yang menerapkan etika (Surbakti, 1992:119)
.
b. Kesadaran Politik.
b. Kesadaran Politik.
Kesadaran
politik menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap
lingkungan
masyarakat dan politik (Eko, 2000:14). Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan (Budiarjo, 1985:22).
masyarakat dan politik (Eko, 2000:14). Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan (Budiarjo, 1985:22).
c.
Pengetahuan Masyarakat terhadap
Proses
Pengambilan Keputusan. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan
keputusan akan menentukan corak dan arah suatu keputusan yang akan diambil
(RamlanSurbakti 1992:196).
d.
Kontrol Masyarakat terhadap Kebijakan Publik.
Kontrol
masyarakat terhadap kebijakan publik yakni masyarakat menguasai
kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek kebijakan tertentu (Arnstein, 1969:215). Kontrol untuk mencegah dan mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik (Setiono,2002:65). Arnstein1969:215), kontrol masyarakat dalam kebijakan publik adalah the power of directing. Juga mengemukakan ekspresi politik,
memberikan aspirasi atau masukan (ide, gagasan) tanpa intimidasi yang merupakan problem dan harapan rakyat (Widodo, 2000:192), untuk meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan
agenda tuntutan mengenai pembangunan (Cristina, 2001:71).
kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek kebijakan tertentu (Arnstein, 1969:215). Kontrol untuk mencegah dan mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik (Setiono,2002:65). Arnstein1969:215), kontrol masyarakat dalam kebijakan publik adalah the power of directing. Juga mengemukakan ekspresi politik,
memberikan aspirasi atau masukan (ide, gagasan) tanpa intimidasi yang merupakan problem dan harapan rakyat (Widodo, 2000:192), untuk meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan
agenda tuntutan mengenai pembangunan (Cristina, 2001:71).
3.
Faktor Fisik Individu dan Lingkungan Faktor fisik individu sebagai sumber
kehidupan
termasuk fasilitas serta ketersediaan pelayanan umum. Faktor lingkungan adalah
kesatuan ruang dan semua benda, daya, keadaan, kondisi dan makhluk hidup, yang
berlangsungnya berbagai kegiatan interaksi sosial antara berbagai kelompok
beserta lembaga dan pranatanya (K. Manullang dan Gitting,1993:13).
4.
Faktor Nilai Budaya
Gabriel
Almond dan Sidney Verba (1999:25), Nilai budaya politik atau civic culture
merupakan basis yang membentuk demokrasi, hakekatnya adalah politik baik etika
politik maupun teknik (Soemitro 1999:27) atau peradapan masyarakat (Verba,
Sholozman, Bradi, 1995). Faktor
nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.
nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.
3.
BUDAYA POLITIK PARTISIPAN
adalah
salah satu jenis budaya politik bangsa. Budaya politik partisipan dicirikan
dengan adanya orientasi yang tinggi terhadap semua objek politik, baik objek
umum, input, output serta pribadinya sendiri selaku warga negara.
Pelaksanaan budaya politik partisipan juga dapat diterapkan oleh seorang pelajar dilingkungan sekolahnya.
Pelaksanaan budaya politik partisipan juga dapat diterapkan oleh seorang pelajar dilingkungan sekolahnya.
PENGERTIAN BUDAYA POLITIK
26
Jul
264 Votes
PENGERTIAN BUDAYA POLITIK
- 1. Pengertian Umum Budaya Politik
Budaya politik merupakan sistem nilai
dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur
masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum
dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R.
O’G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam
antara kelompok elite dengan kelompok massa.
Almond dan Verba
mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga
negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap
peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana
distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat
bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa
mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan
berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka
menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.
Berikut ini adalah beberapa
pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih
memahami secara teoritis sebagai berikut :
- Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
- Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
- Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
- Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau mendorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Dengan pengertian budaya politik di
atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua
tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang
bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem
politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah
individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek
individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena
dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi
individual.
- 1. Pengertian Budaya Politik Menurut Para Ahli
Terdapat banyak sarjana ilmu politik
yang telah mengkaji tema budaya politik, sehingga terdapat variasi konsep
tentang budaya politik yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih
jauh, tentang derajat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga
tetap dalam satu pemahaman dan rambu-rambu yang sama. Berikut ini merupakan
pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya politik.
- a. Rusadi Sumintapura
Budaya politik tidak lain adalah pola
tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati
oleh para anggota suatu sistem politik.
- b. Sidney Verba
Budaya politik adalah suatu sistem
kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan
suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.
- c. Alan R. Ball
Budaya politik adalah suatu susunan
yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang
berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.
- d. Austin Ranney
Budaya politik adalah seperangkat
pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara
bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
- e. Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.
Budaya politik berisikan sikap,
keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga
kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu
dari populasi.
Berdasarkan beberapa pengertian
tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para ahli), maka dapat ditarik beberapa
batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut :
Pertama : bahwa konsep
budaya politik lebih mengedepankan aspek-aspek non-perilaku aktual berupa
tindakan, tetapi lebih menekankan pada berbagai perilaku non-aktual
seperti orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan.
Hal inilah yang menyebabkan Gabriel A. Almond
memandang bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari sebuah
sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah
sistem politik.
Kedua : hal-hal yang
diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap
berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik.
Hal-hal yang diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap
komponen-komponen yang terdiri dari komponen-komponen struktur dan fungsi dalam
sistem politik. Seseorang akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem
politik, dengan melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran
struktur politik, fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari
keduanya. Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga
legislatif, eksekutif dan sebagainya.
Ketiga : budaya politik
merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen budaya
politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan
masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini
berkaitan dengan pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi
perilaku warga negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya
sistem politik yang ideal.
- 1. Komponen-Komponen Budaya Politik
Seperti dikatakan oleh Gabriel
A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., bahwa
budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam suatu sistem politik. Maksud
dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena budaya
politik menjadi satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya
konflik-konflik politik (dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan
kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen
berisikan unsur-unsur psikis dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi
beberapa unsur.
Menurut Ranney, terdapat dua komponen
utama dari budaya politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations)
dan orientasi afektif (affective oreintatations). Sementara itu, Almond
dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan
Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik
mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut.
Orientasi kognitif :
yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan
segala kewajibannya serta input dan outputnya.
Orientasi afektif : yaitu
perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.
Orientasi evaluatif : yaitu
keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal
melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.
- C. TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK
- 1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem
ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan
modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap
orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap
”militan” atau sifat ”tolerasi”.
- Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan tidak
dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang
sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah
kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang
mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.
- Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran
berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus
yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau
kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan
masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan
dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja
sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama.
Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
- a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap
mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu
sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi
dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan
perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang
hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang
bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap
tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi
selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang
absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
- b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif
Struktur mental yang bersifat
akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga.
Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia
menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik
sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan
baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan.
Perubahan dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik
melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan
mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
- 1. Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang ditemukan dalam budaya politik,
ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang
dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem
politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam
tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik
yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang
berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond
mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :
- Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
- Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
- Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.
Dalam kehidupan masyarakat, tidak
menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari
ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di
dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut.
No
|
Budaya Politik
|
Uraian / Keterangan
|
1.
|
Parokial
|
|
2.
|
Subyek/Kaula
|
|
3.
|
Partisipan
|
|
Kondisi masyarakat dalam budaya
politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan
memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan
terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut.
Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan
publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan
diri dalam kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan
yang tidak fair.
Budaya politik partisipan merupakan
lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya
harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat
kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat
efficacy atau keberdayaan, karena mereka merasa memiliki setidaknya
kekuatan politik yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu mereka
merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya
keterlibatan dalam politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu
yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust)
antar warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini
merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.
Budaya Politik subyek lebih
rendah satu derajat dari budaya politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya
ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki
perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang
lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga
terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil
terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman bila membicarakan
masalah-masalah politik.
Demokrasi sulit untuk berkembang
dalam masyarakat dengan budaya politik subyek, karena masing-masing warga
negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila
mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga
memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah, sehingga
sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang tinggi, agar
terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.
Budaya Politik parokial merupakan
tipe budaya politik yang paling rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak
merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih
mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan
terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa
yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem
politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah politik.
Budaya politik ini juga
mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk
berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan
politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik.
Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi dalam
budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat institusi-institusi dan
perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini bisa dtemukan dalam
masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di Afrika, Asia, dan
Amerika Latin.
Namun dalam kenyataan tidak ada
satupun negara yang memiliki budaya politik murni partisipan, pariokal atau
subyek. Melainkan terdapat variasi campuran di antara ketiga tipe-tipe
tersebut, ketiganya menurut Almond dan Verba
tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik, yaitu :
- Budaya politik subyek-parokial (the parochial- subject culture)
- Budaya politik subyek-partisipan (the subject-participant culture)
- Budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant culture)
Berdasarkan penggolongan atau
bentuk-bentuk budaya politik di atas, dapat dibagi dalam tiga model kebudayaan
politik sebagai berikut :
Model-Model Kebudayaan
Politik
|
||
Demokratik Industrial
|
Sistem Otoriter
|
Demokratis Pra Industrial
|
Dalam sistem ini
cukup banyak aktivis politik untuk menjamin adanya kompetisi partai-partai
poli-tik dan kehadiran pemberian suara yang besar.
|
Di sini jumlah
industrial dan modernis sebagian kecil, meskipun terdapat organisasi politik
dan partisipan politik seperti mahasiswa, kaum in-telektual dengan tindakan
persuasif menentang sis-tem yang ada, tetapi seba-gian besar jumlah rakyat
hanya menjadi subyek yang pasif.
|
Dalam sistem ini
hanya terdapat sedikit sekali parti-sipan dan sedikit pula keter-libatannya
dalam peme-rintahan
|
Pola kepemimpinan sebagai bagian dari
budaya politik, menuntut konformitas atau mendorong aktivitas. Di negara
berkembang seperti Indonesia, pemerintah diharapkan makin besar peranannya
dalam pembangunan di segala bidang. Dari sudut penguasa, konformitas menyangkut
tuntutan atau harapan akan dukungan dari rakyat. Modifikasi atau kompromi tidak
diharapkan, apalagi kritik. Jika pemimpin itu merasa dirinya penting, maka dia
menuntut rakyat menunjukkan kesetiaannya yang tinggi. Akan tetapi, ada pula
elite yang menyadari inisiatif rakyat yang menentukan tingkat pembangunan, maka
elite itu sedang mengembangkan pola kepemimpinan inisiatif rakyat dengan tidak
mengekang kebebasan.
Suatu pemerintahan yang kuat dengan
disertai kepasifan yang kuat dari rakyat, biasanya mempunyai budaya politik
bersifat agama politik, yaitu politik dikembangkan berdasarkan ciri-ciri agama
yang cenderung mengatur secara ketat setiap anggota masyarakat. Budaya tersebut
merupakan usaha percampuran politik dengan ciri-ciri keagamaan yang dominan
dalam masyarakat tradisional di negara yang baru berkembang.
David Apter memberi
gambaran tentang kondisi politik yang menimbulkan suatu agama politik di suatu
masyarakat, yaitu kondisi politik yang terlalu sentralistis dengan peranan
birokrasi atau militer yang terlalu kuat. Budaya politik para elite berdasarkan
budaya politik agama tersebut dapat mendorong atau menghambat pembangunan
karena massa rakyat harus menyesuaikan diri pada kebijaksanaan para elite politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar