Awal Agustus 1998
Petikan gitar Slash yang membahana dari kamar sebelah
membangunkanku dari tidur panjang. Aku menggeliat malas dan mencoba membuka
mataku yang terasa sangat berat. Pengaruh ekstasi yang kuminum tadi malam
bersama Ardy sudah mulai mengendap. Basi'an, begitu istilah yang digunakan
anak-anak muda terhadap pengaruh pemakaian ekstasi. Tenggorokanku terasa kering
dan panas. Aku mencoba menggapai gelas yang ada di samping ranjang. Kosong. Tak
berisi setetes airpun.
Aku menoleh. Ardy masih tergolek di sampingku. Tadi malam
memang ia mengkonsumsi pil-pil setan itu jauh lebih banyak dariku. Tak heran
jika sekarang ia masih tertidur nyenyak. Perbuatan yang kami lakukan semalam
sangat liar.
Aku berusaha bangkit untuk mengambil sebotol Aqua dari dalam
kulkas. Dengan sisa tenaga yang ada, aku berhasil menuangkan air putih ke dalam
gelas dan meminumnya. Setelah itu aku berjalan ke kamar mandi, ingin mengguyur
tubuhku yang terasa panas dan berkeringat.
Untung saja tempat kost yang baru kutempati dua bulan
terakhir ini tidak seketat tempat kostku yang dulu. Rata-rata penghuni rumah
mewah bertingkat tiga ini memang orang-orang mencintai pergaulan bebas dan
pengkonsumsi narkoba seperti diriku. Ditambah lagi pemilik kost tinggal di Bandung dan jarang
mengunjungi tempat ini. Mereka hanya mempercayakan keamanan kost kepada seorang
satpam dan lima
orang pembantu rumah tangga yang mata duitan. Keenam orang hanya ingin uang
kost dibayar tepat waktu, dengan sejumlah tip untuk membungkam mulut mereka.
Mereka tidak peduli para penghuninya mabuk-mabukan, pesta narkoba atau tinggal
bersama. Yang penting bagi mereka adalah uang karena mereka sendiri bukan orang
yang suci. Tersiar kabar bahwa pembantu-pembantu rumah tangga itu menjalani
pekerjaan lain sebagai pramuria di warung bilyard.
"Vi! Evi! Lagi ngapain kamu di dalam? Mandi ya?"
Terdengar suara Ardy mencariku.
"Iya, Dy! Panas, nih!" Seruku dari dalam kamar
mandi.
"Jangan lama-lama yah! Aku mau pipis nih!" Teriaknya.
Aku melengos. Memang setelah pengaruh obat-obatan tidak
terasa lagi, aku sering merasa malas dan muak melihat Ardy. Entah mengapa. Aku
hanya menyukainya jika dalam keadaan fly. Mungkin karena itulah cinta di antara
pemuja obat-obatan terlarang dan pergaulan bebas sepertiku tak pernah langgeng.
Ardy sedang duduk mencangkung dengan celana pendek dan kaus
oblong kumalnya ketika aku keluar dari kamar mandi. Asap rokok berbentuk
bulatan-bulatan putih seperti donat menghempus dari hidungnya. Aku tersenyum
terpaksa.
"Vi, basi'an kamu? Langsung mandi gitu!" ujarnya
dengan gayanya yang kurang ajar.
Aku melengos. Aku memang tidak menganggap Ardy istimewa. Ia
sama bejatnya seperti Roy,
Glen, Harry, Rudy, bahkan Aryo yang telah merenggut keperawananku dan pergi
begitu saja meninggalkanku. Mereka semua adalah pemuda-pemuda berandalan yang
bisanya hanya berhubungan intim dan mengkonsumsi narkoba. tak lebih.
"Sok tau banget kamu! Kamu sendiri juga kegerahan, kan ?!" Tukasku tak
suka. "Oh ya, kamu mau ke kampus nga siang ini? Daftar ulang , lho! Aku
mau ke kampus, ah!"
Sebenarnya aku tak berniat ke kampus. Tapi karena ingin
mengusir Ardy yang sudah dua hari menginap di sini. Aku tepaksa melakukan hal
itu. Aku tau, Ardy sangat menghindari kampus. Mungkin semester ini pun ia sudah
di-DO.
"Masih mikirin kampus juga , Vi?" Ardy tersenyum
sinis. "Aku males, ah! Lagian buat apa belajar susah-susah? Toh kita masih
bisa beli inex sama PT, kok! Nanti aja deh, kalo aku udah insyaf baru ke
kampus. Aku mau ke rumah Tony aja!"
Ardy bangkit dan mengganti celana pendeknya dengan jeans
bolong-bolong kesayangannya. Aku pun sibuk berdandan dan merapihkan
berkas-berkas pendaftaran ulang, berpura-pura ingin pergi ke kampus. Padahal
sehabis ini aku aku akan pergi ke kost Firna. Kemarin sahabatku itu mengajak
shoping di Plaza Senayan. Daripada suntuk di kamar terus, lebih baik mencari
udara segar. Siapa tau ada cowok keren yang bisa kugaet! Aku sudah bosan dengan
Ardy yang sudah dua bulan menjadi pengawal setiaku. Meskipun tampangnya lumayan
keren, badannya sama sekali tidak bagus. Kurus kerempeng seperti tiang listrik.
Maklumlah pecandu narkoba! Mana bisa ia memiliki tubuh berotot seperti Ade Rai.
"Eh, Vi...."kata Ardy di depan pintu.
"Apa?!"
"Eh, jangan galak-galang dong! gini lho.... eng....bagi
duit dong, Vi. Biasa..." Ardy memamerkan nyengir kudanya. "Buat beli
cimeng."
"Ah, buat beli cimeng aja make minta sama aku!"
Tukasku merogoh dompet dan melemparkan dua lembar lima puluh ribuan.
"Udah sana
cabut! Eneg melihat tampangmu di sini!"
Ardy tertawa senang dan melambaikan tangannya.
Pertengahan Oktober 1998
Aku memegang perutku sambil tertatih-tatih menuju kamar
mandi. Perutku terasa sangat mual. Di kelas tadi, pandanganku tiba-tiba kabur
dan aku merasa ingin pingsan. Setelah pamit pada Pak Suryadi, dosen killer
pengajar manajemen pemasaran, aku cepat-cepat ke kamar mandi. Di kamar mandi,
kumuntahkan semua isi perutku. Kepalaku berdenyut-denyut seperti dihantam oleh
tongkat yang sangat besar. Perutku terasa keras dan nafasku sesak. Aku mencoba
bangkit. Ini pasti pengaruh putaw yang kukonsumsi bersama Firna dan teman-teman
beberapa hari ini. Aku memang belum terbiasa menggunakan barang yang satu itu.
Mungkin seperti inilah reaksinya, kataku dalam hati. Mual dan pusing.
Cepat-cepat kukeluarkan lipstik dan bedak dari tas mungilku.
Aku harus berdandan untuk menutupi pucat pasi wajahku. Ketika hendak
mengembalikan pearalatan kecantikan itu ke tempat semulanya, pandanganku
bersirobok dengan bungkusan panty shield. Aku terpana. Otakku mulai berpikir
cepat. Terakhir kali aku mendapat haid kira-kira satu setengah bulan yang lalu.
Ah, sudah lama sekali? Apa.....aku sedang mengandung?!
Dengan panik, aku segera melarikan mobilku menuju apotik
terdekat. Tanganku bergetar memegang test kehamilan pribadi bersampul biru. Aku
segera pulang ke kost yang hanya sepuluh menit dari kampus, dan mencoba alat
yang mengerikan itu. Selama menunggu hasilnya, aku mondar-mandir tak karuan di
dalam kamar. Jantungku berdegup kencang sekali. Oh Tuhan, aku tidak ingin
hamil! Jeritku dalam hati.
Tapi ternyata semuanya sudah terlambat. Tertera dua garis
merah di benda putih yang pipih dan panjang itu. Aku berteriak tak percaya.
Kubanting kuat-kuat alat pengecek kehamilan dan gelas aqua bekas kugunakan untuk
menampung urine. Tidak! Oh.....aku tidak mau mengandung! Aku tidak mau punya
anak!
Aku menghenyakkan tubuhku ke atas ranjang. Berteriak-teriak
seperti orang gila. Ku jambak-jambak rambutku yang panjang sampai kulit
kepalaku seperti mau lepas. kutinju dinding kamar berkali-kali. Yang ada hanya
kesakitan. Tapi tidak melenyapkan jabang bayi di dalam rahimku.
Mengapa aku sedemikian bodoh? Aku lupa memakai alat
kontrasepsi ketika berhubungan dengan si brengsek Ardy! Padahal biasanya aku
tak pernah lupa. Mungkin karena pengaruh ekstasi yang memabukkan, membuatku
lupa akan kebiasaanku untuk mencegah kehamilan. Tapi nasi udah menjadi bubur.
Aku memang mengandung. Dan cara terbaik yang harus kulakukan sekarang adalah
menggugurkan kandunganku? Aku tidak ingin membesarkan anak di luar nikah. Tidak
mungkin aku menuntut pertanggungjawaban Ardy. Pasti ia akan mengelak dan
menuduh bayi ini hasil hubunganku dengan orang lain. Lagipula aku tidak siap
menikah dengan pemuda bajingan itu dan membesarkan anakku dengannya. Menjadi
orang tua tunggal pun aku tak siap.
Apa yang akan terjadi jika aku nekad mempertahankan janin
ini?! Papa yang kejam dan bengis akan mengusirku. Beliau tidak memukulku dan
menamparku seperti dulu kalau aku pulang sekolah lewat waktu atau aku kedapatan
bergaul akrab dengan pria. Papa yang sok ningrat dan berdarah dingin itu pasti
akan mencincang tubuhku! Dan beliau pasti tidak akan mengakuiku sebagai anaknya
lagi. Padahal aku sangat membutuhkan harta dan warisannya. Aku adalah anak
sulungnya dan aku harus mewarisi kekayaannya yang berlimpah ruah.
Cepat-cepat kuraih handphone dari dalam tas dan menghubungi
Firna. Ia pasti tau cara mengeyahkan janin ini karena beberapa bulan lalu ia
pun pernah melakukan yang sama.
Akhir oktober 1998
Berkat pertolongan Firna, aku berhasil menemui seorang dokter ahli kandungan yang bernaung di balik klinik megahnya di pusat Jakarta untuk mengadakan aborsi terhadap bayi-bayi malang dari wanita-wanita muda yang tidak siap memiliki anak sepertiku. Ketika sedang di-USG, aku sempat melihat bulatan kecil berwaran putih di layar monitor. Itu adalah janinku!
"Tuh, lihat.....sudah agak besar kan, anakmu, Evi?” Ujar dokter itu. "Sudah siapkah kamu menggugurkan janin yang lucu ini? Kelak dia akan menjadi anak yang sehat. Apa kamu tidak menyesal nantinya?"
"Nggak, Dok! saya ngak akan nyesal, kok!" Tukasku sekeras batu. Kulirik Firna yang cepat-cepat mengalihkan pandangan dariku. Aku tidak akan mempertahankan bayi ini. Aku tidak sanggup melihatnya menghancurkan masa depanku!
"Ok, deh....kalo gitu! Siap-siap aja di ruangan sebelah, ya! Pembayarannya tolong di urus di kasir.” Kata Dokter itu tersenyum. Aku melengos. Sok moralitas kau Dokter! Padahal dalam hati kau bersorak kegirangan membayangkan dua juta rupiah lagi masuk ke kantongmu!
Peristiwa itu terjadi begitu cepat. Tidak seperti yang pernah kubaca di koran-koran, proses pengguguran kandungan ini tidaklah mengerikan. Mungkin karena aku di bius sehingga aku tidak merasakan apa-apa. Sehabis itu sudah boleh pulang dan aku merasa sangat lega karena akhirnya si pengganggu itu tidak ada lagi dalam rahimku.
Pertengahan Januari 1999
“Evi! Evi! kenapa kamu, Nak? Pa! Pa! Aduh, bagaimana ini? Evi! Evi kenapa, Pa?!”
Sayup-sayup aku mendengar suara Mama. Aku berusaha membuka mataku lebar-lebar. Tapi tidak dapat memperjelas penglihatanku. Hanya bayang-bayang sosok Mama dan Papa mendekatiku dan menguncang-guncang tubuhku. Tak lama kemudian, aku segera di larikan ke Rumah Sakit terdekat. Tubuhku terasa ringan seperti kapas. Efek beberapa butir valium yang kutenggak bersama sekaleng bir memang membuatku seperti hilang ingatan. Sejak beberapa hari aku mulai bosan dan akhirnya mencoba bereksperimen dengan mencampurkan minuman keras dan obat-obat terlarang itu. Aku tidak tahu akibatnya akan seperti ini. Kedatangan Papa dan Mama yang mendadak ke Jakarta pun tak kuhiraukan lagi. Aku seperti ingin mati saja.
Awal Februari 1999
Aku mengikuti Papa dan Mama ke sebuah kamar putih yang bersih di ujung gang. Anganku masih melayang-layang dan tubuhku terasa sakit karena aku belum benar-benar bebas dari narkoba. Mungkin karena itulah Papa dan Mama membawaku ke tempat terpencil ini. Sebuah pesantren yang memiliki divisi rehabilitasi ketergantungan narkoba.
Setelah bercakap-cakap sebentar dengan seorang wanita yang berjilbab putih, Papa dan Mama meninggalkanku. Aku tak peduli pada mereka. Yang kuinginkan saat ini adalah putaw, cimeng, dan valium!
"Oh....oh, tolong! Tolong! Tolong! Mana PT? Mana PT? Aku butuh PT! Ohhh!" Aku menjerit-jerit kesakitan. Sakaw, itulah keadaanku saat ini. Tubuhku terasa sakit dan luluh lantak. Tulangku ngilu. Perutku mual dan lendir tak henti-hentinya mengalir dari hidungku. Aku berteriak-teriak sampai wanita berjilbab tadi dan empat orang lainya datang. Mereka menyeretku ke kamar mandi. Sambil melafazkan dzikir, mereka menyiram sekujur tubuhku. Aku mengerang. Pagi-pagi buta seperti ini aku diguyur air dingin!
"Tolong! Aku mau pergi dari sini! Lepaskan aku! Tolong! Tolong! Tolong!" Aku memberontak berusaha melepaskan diri dari cengkeraman wanita-wanita itu. Tapi mereka seperti pantang menyerah. Setelah selesai memandikanku, mereka mengganti bajuku dan dengan tetap berdzikir mereka menidurkanku. Aku masih berteriak-teriak kesakitan. Akhirnya sepanjang malam aku menjerit-jerit tanpa ada yang menolong.
Pertengahan Oktober 1999
Aku sudah tidak menjerit-jerit lagi. Tubuhku sudah sehat menurut pemeriksaan dan laporan dari pembimbingku, aku sudah terlepas dari narkoba. Khasiat jamu ramuan dari pesantren, mandi dini hari diiringi dzikir dan doa, berendam di kolam yang tertutup dan air rebusan jahe yang diteteskan ke kedua bola mataku ternyata cukup ampuh menyembuhkan sakaw-ku. Kini aku sudah dapat mengikuti rutinitas pesantren dan bergaul dengan teman-temanku yang lain. Aku pun sudah mengenakan jilbab! Ya, aku sudah berjilbab seperti Ustadzah Maryam, Ustadzah Ayu, Wina, Shanti, Elvira, Saras, Dewi, dan muslimah-muslimah lainnya di pesantren ini. Dan aku memakainya bukan karena peraturan di sini mengharuskan wanita berjilbab, tapi karena hidayah dari Allah.
Meskipun bagi orang luar kegiatan pesantren ini membosankan, tapi bagiku di sinilah surgaku. Aktivias sholat berjamaah, tadarus Qur'an, mengikuti kajian, berdzikir, salat malam, kerja bakti membersihkan pondok dan sekitarnya, membuatku lupa akan kesenanganku dulu. Aku bahkan telah meminta izin kepada orang tuaku dan para pembimbingku untuk tinggal di sini dalam waktu yang cukup lama agar bisa mengabdikan diri. Aku ingin menolong orang lain yang pernah mengalami nasib yang sama seperti diriku dulu. Aku ingin membantu menyembuhkan dan mengembalikan kepercayaan diri mereka. Alhamdulillah niat baiku ini disambut dengan gembira oleh para pembimbing dan pengurus pondok pesantren. Bahkan kabarnya Ustadz Fikry yang menjadi ketua yayasan sekaligus anak pendiri pondok dan kepala pembimbing menyetujui dan mendukung niatku. Ia pun mengusulkan agar aku menjadi guru dan pembimbing di panti asuhan "Nurul Iman" milik yayasan yang letaknya tak jauh dari pondok ini.
Pertengahan Mei 2000
Sore hari yang cerah usai memberikan pelajaran bahasa inggris kepada anak-anak panti asuhan. Ustadzah Salma memanggilku. Pengurus "Nurul Iman" itu mengatakan bahwa besok ada seorang ikhwan yang ingin berta'auf denganku dan kalau memang kami berjodoh, ia akan segera melamarku untuk menjadi istrinya.
Subhanallah! Betapa terkejutnya aku mendengar kabar itu. Rasanya tak mungkin ikhwan yang sedemikian alim dan istiqamah seperti yang diceritakan Ustadzah Salma mau meminangku. Rasanya sudah lama aku mengubur impian menjadi istri dan ibu yang baik mengingat masa laluku yang sangat suram.
"Allah selalu memaafkan hamba-Nya yang pernah melakukan kesalahan, Evi."Ucap Ustadzah Salma dengan lembut ketika aku menyampaikan kekhawatiranku. "Jika seseorang telah bertobat. Lagipula kita ini manusia biasa, bukan Tuhan atau Malaikat. Setiap orang pasti pernah berbuat kesalahan, entah besar atau kecil. Allah akan memaafkan dan memberikan karunia kepada kita yang sudah kembali Fitrah-Nya. Jangan pesimis, Evi. Jangan pernah terbelenggu oleh masa lalu. Ambilah hikmah dari masa lalumu, dan buang yang buruk!"
"Tapi.....apakah ikhwan itu telah mengetahui latar belakang hidup saya, Ustadzah? tanyaku lagi. "Apakah... ia benar-benar mau menerima saya yang sudah pernah berzina dan mengkonsumsi obat-obat terlarang?"
"Tidak ada yang tidak ia ketahui tentang kau, Evi," sahut Ustadzah Salma sambil mengusap jilbabku. "Dan ia siap menerimamu apa adanya. Percayalah, ia sangat jujur dan baik hati."
Aku mengangguk haru. Hatiku mulai tenang. Dan ketika acara ta'aruf tiba, aku tidak lagi diliputi keraguan seperti sebelumnya. Aku mulai mantap dan berdoa kalau memang Allah telah mengizinkanku untuk menggenapkan setengah dienku, aku telah siap. Tak disangka ikhwan yang datang melamarku adalah Ustadz Fikry! Setelah melaksanakan salat istikharah beberapa malam, kami pun memutuskan untuk segera menikah.
Akhir Mei 2001
Pagi ini, aku sedang melayani suamiku sarapan pagi. Seperti biasa, tepat pukul delapan pagi setelah sarapan dan salat dhuha, Bang Fikri kembali dengan rutinitas di pondok pesantren. Sedangkan aku bersiap-siap untuk mengajar panti. Entah mengapa, ketika aku sedang mengoleskan selai coklat ke atas setangkup roti tawar di atas piring Bang Fikri, kram yang sangat dahsyat terasa di daerah pinggul dan di bawah perutku. Aku berteriak kesakitan sampai roti ditanganku terlempar.
"Evi....Evi! Ada apa, Vi! Evi!?" Bang Fikri meraih tubuhku yang terjatuh di lantai. Ia menepuk-nepuk pipiku tapi aku tak mampu bergerak lagi. Rasa sakit yang tak tertahankan membuatku tidak mampu berbuat apa-apa.
Dokter yayasan yang datang memeriksaku menyarankan agar aku segera di bawa ke rumah sakit Ibu dan Anak terkenal di Jakarta. Menurutnya, penyakitku sangat parah dan berkaitan dengan organ reproduksiku. Memang sejak pengguguran kandungan beberapa tahun lalu, jadwal haidku tidak teratur. Pernah aku lima bulan tidak mendapat haid. Tapi sekali menstruasi, darah kental bercampur onggokan-onggokan daging seperti hati ayam keluar dari vaginaku. Kupikir hal itu biasa aja dan aku enggan memeriksakan kandunganku ke dokter karena takut suamiku akan mengetahui rahasia pengguguran kandungan yang kupendam selama ini. Aku memang belum pernah menceritakan hal itu kepada siapa pun kecuali Firna.
Setelah dirawat selama seminggu di rumah sakit dan melakukan beberapa tes mulai mulai USG vagina, observasi, tes kimia darah, hormon, dan urine; dokter spesialis kendungan menyatakan aku mengidap kanker leher rahim atau kanker cerviks! Astagfirullah, betapa beratnya ujian yang harus ku lewati ini, Ya Allah! inilah akibat kesalahan terbesar dalam hidupku yang pernah kubuat!
Berkat pertolongan Firna, aku berhasil menemui seorang dokter ahli kandungan yang bernaung di balik klinik megahnya di pusat Jakarta untuk mengadakan aborsi terhadap bayi-bayi malang dari wanita-wanita muda yang tidak siap memiliki anak sepertiku. Ketika sedang di-USG, aku sempat melihat bulatan kecil berwaran putih di layar monitor. Itu adalah janinku!
"Tuh, lihat.....sudah agak besar kan, anakmu, Evi?” Ujar dokter itu. "Sudah siapkah kamu menggugurkan janin yang lucu ini? Kelak dia akan menjadi anak yang sehat. Apa kamu tidak menyesal nantinya?"
"Nggak, Dok! saya ngak akan nyesal, kok!" Tukasku sekeras batu. Kulirik Firna yang cepat-cepat mengalihkan pandangan dariku. Aku tidak akan mempertahankan bayi ini. Aku tidak sanggup melihatnya menghancurkan masa depanku!
"Ok, deh....kalo gitu! Siap-siap aja di ruangan sebelah, ya! Pembayarannya tolong di urus di kasir.” Kata Dokter itu tersenyum. Aku melengos. Sok moralitas kau Dokter! Padahal dalam hati kau bersorak kegirangan membayangkan dua juta rupiah lagi masuk ke kantongmu!
Peristiwa itu terjadi begitu cepat. Tidak seperti yang pernah kubaca di koran-koran, proses pengguguran kandungan ini tidaklah mengerikan. Mungkin karena aku di bius sehingga aku tidak merasakan apa-apa. Sehabis itu sudah boleh pulang dan aku merasa sangat lega karena akhirnya si pengganggu itu tidak ada lagi dalam rahimku.
Pertengahan Januari 1999
“Evi! Evi! kenapa kamu, Nak? Pa! Pa! Aduh, bagaimana ini? Evi! Evi kenapa, Pa?!”
Sayup-sayup aku mendengar suara Mama. Aku berusaha membuka mataku lebar-lebar. Tapi tidak dapat memperjelas penglihatanku. Hanya bayang-bayang sosok Mama dan Papa mendekatiku dan menguncang-guncang tubuhku. Tak lama kemudian, aku segera di larikan ke Rumah Sakit terdekat. Tubuhku terasa ringan seperti kapas. Efek beberapa butir valium yang kutenggak bersama sekaleng bir memang membuatku seperti hilang ingatan. Sejak beberapa hari aku mulai bosan dan akhirnya mencoba bereksperimen dengan mencampurkan minuman keras dan obat-obat terlarang itu. Aku tidak tahu akibatnya akan seperti ini. Kedatangan Papa dan Mama yang mendadak ke Jakarta pun tak kuhiraukan lagi. Aku seperti ingin mati saja.
Awal Februari 1999
Aku mengikuti Papa dan Mama ke sebuah kamar putih yang bersih di ujung gang. Anganku masih melayang-layang dan tubuhku terasa sakit karena aku belum benar-benar bebas dari narkoba. Mungkin karena itulah Papa dan Mama membawaku ke tempat terpencil ini. Sebuah pesantren yang memiliki divisi rehabilitasi ketergantungan narkoba.
Setelah bercakap-cakap sebentar dengan seorang wanita yang berjilbab putih, Papa dan Mama meninggalkanku. Aku tak peduli pada mereka. Yang kuinginkan saat ini adalah putaw, cimeng, dan valium!
"Oh....oh, tolong! Tolong! Tolong! Mana PT? Mana PT? Aku butuh PT! Ohhh!" Aku menjerit-jerit kesakitan. Sakaw, itulah keadaanku saat ini. Tubuhku terasa sakit dan luluh lantak. Tulangku ngilu. Perutku mual dan lendir tak henti-hentinya mengalir dari hidungku. Aku berteriak-teriak sampai wanita berjilbab tadi dan empat orang lainya datang. Mereka menyeretku ke kamar mandi. Sambil melafazkan dzikir, mereka menyiram sekujur tubuhku. Aku mengerang. Pagi-pagi buta seperti ini aku diguyur air dingin!
"Tolong! Aku mau pergi dari sini! Lepaskan aku! Tolong! Tolong! Tolong!" Aku memberontak berusaha melepaskan diri dari cengkeraman wanita-wanita itu. Tapi mereka seperti pantang menyerah. Setelah selesai memandikanku, mereka mengganti bajuku dan dengan tetap berdzikir mereka menidurkanku. Aku masih berteriak-teriak kesakitan. Akhirnya sepanjang malam aku menjerit-jerit tanpa ada yang menolong.
Pertengahan Oktober 1999
Aku sudah tidak menjerit-jerit lagi. Tubuhku sudah sehat menurut pemeriksaan dan laporan dari pembimbingku, aku sudah terlepas dari narkoba. Khasiat jamu ramuan dari pesantren, mandi dini hari diiringi dzikir dan doa, berendam di kolam yang tertutup dan air rebusan jahe yang diteteskan ke kedua bola mataku ternyata cukup ampuh menyembuhkan sakaw-ku. Kini aku sudah dapat mengikuti rutinitas pesantren dan bergaul dengan teman-temanku yang lain. Aku pun sudah mengenakan jilbab! Ya, aku sudah berjilbab seperti Ustadzah Maryam, Ustadzah Ayu, Wina, Shanti, Elvira, Saras, Dewi, dan muslimah-muslimah lainnya di pesantren ini. Dan aku memakainya bukan karena peraturan di sini mengharuskan wanita berjilbab, tapi karena hidayah dari Allah.
Meskipun bagi orang luar kegiatan pesantren ini membosankan, tapi bagiku di sinilah surgaku. Aktivias sholat berjamaah, tadarus Qur'an, mengikuti kajian, berdzikir, salat malam, kerja bakti membersihkan pondok dan sekitarnya, membuatku lupa akan kesenanganku dulu. Aku bahkan telah meminta izin kepada orang tuaku dan para pembimbingku untuk tinggal di sini dalam waktu yang cukup lama agar bisa mengabdikan diri. Aku ingin menolong orang lain yang pernah mengalami nasib yang sama seperti diriku dulu. Aku ingin membantu menyembuhkan dan mengembalikan kepercayaan diri mereka. Alhamdulillah niat baiku ini disambut dengan gembira oleh para pembimbing dan pengurus pondok pesantren. Bahkan kabarnya Ustadz Fikry yang menjadi ketua yayasan sekaligus anak pendiri pondok dan kepala pembimbing menyetujui dan mendukung niatku. Ia pun mengusulkan agar aku menjadi guru dan pembimbing di panti asuhan "Nurul Iman" milik yayasan yang letaknya tak jauh dari pondok ini.
Pertengahan Mei 2000
Sore hari yang cerah usai memberikan pelajaran bahasa inggris kepada anak-anak panti asuhan. Ustadzah Salma memanggilku. Pengurus "Nurul Iman" itu mengatakan bahwa besok ada seorang ikhwan yang ingin berta'auf denganku dan kalau memang kami berjodoh, ia akan segera melamarku untuk menjadi istrinya.
Subhanallah! Betapa terkejutnya aku mendengar kabar itu. Rasanya tak mungkin ikhwan yang sedemikian alim dan istiqamah seperti yang diceritakan Ustadzah Salma mau meminangku. Rasanya sudah lama aku mengubur impian menjadi istri dan ibu yang baik mengingat masa laluku yang sangat suram.
"Allah selalu memaafkan hamba-Nya yang pernah melakukan kesalahan, Evi."Ucap Ustadzah Salma dengan lembut ketika aku menyampaikan kekhawatiranku. "Jika seseorang telah bertobat. Lagipula kita ini manusia biasa, bukan Tuhan atau Malaikat. Setiap orang pasti pernah berbuat kesalahan, entah besar atau kecil. Allah akan memaafkan dan memberikan karunia kepada kita yang sudah kembali Fitrah-Nya. Jangan pesimis, Evi. Jangan pernah terbelenggu oleh masa lalu. Ambilah hikmah dari masa lalumu, dan buang yang buruk!"
"Tapi.....apakah ikhwan itu telah mengetahui latar belakang hidup saya, Ustadzah? tanyaku lagi. "Apakah... ia benar-benar mau menerima saya yang sudah pernah berzina dan mengkonsumsi obat-obat terlarang?"
"Tidak ada yang tidak ia ketahui tentang kau, Evi," sahut Ustadzah Salma sambil mengusap jilbabku. "Dan ia siap menerimamu apa adanya. Percayalah, ia sangat jujur dan baik hati."
Aku mengangguk haru. Hatiku mulai tenang. Dan ketika acara ta'aruf tiba, aku tidak lagi diliputi keraguan seperti sebelumnya. Aku mulai mantap dan berdoa kalau memang Allah telah mengizinkanku untuk menggenapkan setengah dienku, aku telah siap. Tak disangka ikhwan yang datang melamarku adalah Ustadz Fikry! Setelah melaksanakan salat istikharah beberapa malam, kami pun memutuskan untuk segera menikah.
Akhir Mei 2001
Pagi ini, aku sedang melayani suamiku sarapan pagi. Seperti biasa, tepat pukul delapan pagi setelah sarapan dan salat dhuha, Bang Fikri kembali dengan rutinitas di pondok pesantren. Sedangkan aku bersiap-siap untuk mengajar panti. Entah mengapa, ketika aku sedang mengoleskan selai coklat ke atas setangkup roti tawar di atas piring Bang Fikri, kram yang sangat dahsyat terasa di daerah pinggul dan di bawah perutku. Aku berteriak kesakitan sampai roti ditanganku terlempar.
"Evi....Evi! Ada apa, Vi! Evi!?" Bang Fikri meraih tubuhku yang terjatuh di lantai. Ia menepuk-nepuk pipiku tapi aku tak mampu bergerak lagi. Rasa sakit yang tak tertahankan membuatku tidak mampu berbuat apa-apa.
Dokter yayasan yang datang memeriksaku menyarankan agar aku segera di bawa ke rumah sakit Ibu dan Anak terkenal di Jakarta. Menurutnya, penyakitku sangat parah dan berkaitan dengan organ reproduksiku. Memang sejak pengguguran kandungan beberapa tahun lalu, jadwal haidku tidak teratur. Pernah aku lima bulan tidak mendapat haid. Tapi sekali menstruasi, darah kental bercampur onggokan-onggokan daging seperti hati ayam keluar dari vaginaku. Kupikir hal itu biasa aja dan aku enggan memeriksakan kandunganku ke dokter karena takut suamiku akan mengetahui rahasia pengguguran kandungan yang kupendam selama ini. Aku memang belum pernah menceritakan hal itu kepada siapa pun kecuali Firna.
Setelah dirawat selama seminggu di rumah sakit dan melakukan beberapa tes mulai mulai USG vagina, observasi, tes kimia darah, hormon, dan urine; dokter spesialis kendungan menyatakan aku mengidap kanker leher rahim atau kanker cerviks! Astagfirullah, betapa beratnya ujian yang harus ku lewati ini, Ya Allah! inilah akibat kesalahan terbesar dalam hidupku yang pernah kubuat!
Aku tahu, Bang Fikri sangat terpukul dengan kejadian yang
menimpaku ini aku juga sempat menangis berhari-hari tapi tetap saja tidak ada
yang dapat kulakukan kecuali memasrahkan diri kepada Allah. Dan meskipun sangat
berat, kami berdua berusaha tetap tabah dan tawakal, tidak mau menyalahkan
Allah atas keputusan yang ia buat. Apapun yang terjadi, kami telah siap dan
inilah yang terbaik bagi kami. Akhirnya kami mengikuti saran dokter untuk
mengangkat rahimku agar kanker tidak menjalar ke bagian tubuhku yang lain. Aku
tahu, aku tidak akan memiliki kesempatan untuk punya anak lagi, setelah janin
yang dengan......kubunuh dulu.
Pertengahan Agustus 2001
Aku terbangun dan mendapati diriku sedang berada di ruangan putih yang bersih dan sangat terang. Tubuhku kurus kering. Mengenakan gamis dan jilbab putih. Ranjang yang kutiduri seperti berada di atas asap yang mirip segumpalan awan di langit. Aku ingin berteriak menanyakan keberadaanku. Tapi tenggorokanku tercekat, tak sanggup mengeluarkan suara apapun.
“Assalamualaikum, Ibu.” Seorang gadis kecil yang cantik dan berpita putih menghampiriku. Ia meraih tanganku dan menciumnya. Aku tersentak.
“Waalaikumsalam, Nak. Maaf…kau siapa? Aku tidak mengenalmu,” kataku heran. Gadis kecil itu tersenyum.
“Ibu…Ibu memang belum pernah mengenalku. Aku bidadari kecilmu. Bu. Bidadari yang kau lenyapkan tiga tahun yang lau,” sahut si gadis. Matanya yang bulat dan besar menatapku.
“Bidadari kecilku? Maksudmu… kau janin yang kugugurkan itu?!”
“Ya benar. Sekarang Ibu bisa melihat dan menyentuhku. Aku masih ada, Bu. Aku belum mati. Aku masih hidup…. di surga.”
“Apakah ini surga? Apakah aku sudah mati?”
“Tidak, Ibu belum mati. Akupun belum mati meskipun aku kau bunuh lewat tangan dokter yang keji itu. Aku masih ada di sini dan mengawasimu dari atas.”
Aku terpana. Wajah bidadari kecil itu begitu dekat. Aku menyentuh pipinya yang halus kemerahan. Ia tersenyum senang. Senyum kanak-kanaknya yang tulus dan memancarkan keluguan itu menyentuh hatiku. Ya, Allah, betapa teganya aku menghilangkan nyawnya untuk kepentinganku sendiri! Padahal ia tidak bersalah! Ia adalah anak yang suci dan bersih, tidak seperti pasangan biologis berlumur dosa yang membentuknya seperti ini. Sekarang aku sudah tidak bisa mengandung dan memiliki keturunan lagi. Ia adalah keturunanku pertama dan terakhir!
“Oh… bidadari kecilku!” Isakku dan meraih tubuhnya ke pelukanku. “Maafkan Ibu, Nak! Dulu Ibu khilaf, Ibu banyak dosa! Betapa teganya dulu Ibu memusnahkanmu! Maafkan Ibu, Nak! Sekarang semuanya sudah Ibu tebus.”
“Tidak, Ibu… bukan aku yang bisa memaafkan kesalahan ibu. Allah tidak ingin melihat Ibu menderita lagi. Allah akan memberikan kebahagiaan abadi buat Ibu,” ucap bidadari kecilku. Ia mengusap pipiku lembut, kemudian melangkah meninggalkanku.
Aku berteriak memanggilnya tapi ia tetap berjalan ke balik cahaya. Bersamaan dengan menghilangnya bidadari kecil itu, aku mendengar samar-samar suara ramai di sekelilingku.
“Subhanallah! Evi membuka matanya! Papa…Mama… Avi sudah sadar!”
Aku mengerjapkan mataku. Dengan pandangan yang masih agak kabur, aku melihat Bang Fikry duduk di samping ranjang sambil menggenggam tanganku. Tasbih terjuntai di tangan satunya lagi. Papa, Mama, adik-adikku, ustadzah Salma, ustadzah Maryam, mengelilingi tempat tidurku. Aku tak dapat bergerak karena tubuhku terasa sakit dengan selang-selang yang seperti membelengguku.
“Evie, kau sudah tiga hari koma. Alhamdulillah sudah sadar,” bisik bang Fikry. Sadar? Aku masih di dunia! Tidak, aku harus pergi! Tugasku di sini sudah selesai! Aku tidak boleh berada di sini!
Kutatap Bang Fikry lekat-lekat. Ia tersenyum manis. Aku mencoba tersenyum kepadanya dan kepada orang-orang di sekelilingku. Lalu dengan tenaga yang ada, kuucapkan Laailaahaillallah berkali-kali. Bang Fikry seperti tahu maksudku. Dengan penuh ketabahan, ia menuntunku melafalkan kalimatullah. Yang lain hanya menatap kami sambil terisak. Tidak sampai sepuluh menit, terdengar suara tersedak dari tenggorokanku. Kupersembahkan senyumku yang terakhir kepada orang-orang yang setia menungguiku. Tubuhku terasa ringan ketika dijemput Malaikat Izrail. Aku telah siap menjalani kehidupan yang abadi di sisi Allah dan bertemu dengan bidadari kecilku lagi. (nur)
Penulis: Nabila F. Az-Zahra, Annida 10/XI
Pertengahan Agustus 2001
Aku terbangun dan mendapati diriku sedang berada di ruangan putih yang bersih dan sangat terang. Tubuhku kurus kering. Mengenakan gamis dan jilbab putih. Ranjang yang kutiduri seperti berada di atas asap yang mirip segumpalan awan di langit. Aku ingin berteriak menanyakan keberadaanku. Tapi tenggorokanku tercekat, tak sanggup mengeluarkan suara apapun.
“Assalamualaikum, Ibu.” Seorang gadis kecil yang cantik dan berpita putih menghampiriku. Ia meraih tanganku dan menciumnya. Aku tersentak.
“Waalaikumsalam, Nak. Maaf…kau siapa? Aku tidak mengenalmu,” kataku heran. Gadis kecil itu tersenyum.
“Ibu…Ibu memang belum pernah mengenalku. Aku bidadari kecilmu. Bu. Bidadari yang kau lenyapkan tiga tahun yang lau,” sahut si gadis. Matanya yang bulat dan besar menatapku.
“Bidadari kecilku? Maksudmu… kau janin yang kugugurkan itu?!”
“Ya benar. Sekarang Ibu bisa melihat dan menyentuhku. Aku masih ada, Bu. Aku belum mati. Aku masih hidup…. di surga.”
“Apakah ini surga? Apakah aku sudah mati?”
“Tidak, Ibu belum mati. Akupun belum mati meskipun aku kau bunuh lewat tangan dokter yang keji itu. Aku masih ada di sini dan mengawasimu dari atas.”
Aku terpana. Wajah bidadari kecil itu begitu dekat. Aku menyentuh pipinya yang halus kemerahan. Ia tersenyum senang. Senyum kanak-kanaknya yang tulus dan memancarkan keluguan itu menyentuh hatiku. Ya, Allah, betapa teganya aku menghilangkan nyawnya untuk kepentinganku sendiri! Padahal ia tidak bersalah! Ia adalah anak yang suci dan bersih, tidak seperti pasangan biologis berlumur dosa yang membentuknya seperti ini. Sekarang aku sudah tidak bisa mengandung dan memiliki keturunan lagi. Ia adalah keturunanku pertama dan terakhir!
“Oh… bidadari kecilku!” Isakku dan meraih tubuhnya ke pelukanku. “Maafkan Ibu, Nak! Dulu Ibu khilaf, Ibu banyak dosa! Betapa teganya dulu Ibu memusnahkanmu! Maafkan Ibu, Nak! Sekarang semuanya sudah Ibu tebus.”
“Tidak, Ibu… bukan aku yang bisa memaafkan kesalahan ibu. Allah tidak ingin melihat Ibu menderita lagi. Allah akan memberikan kebahagiaan abadi buat Ibu,” ucap bidadari kecilku. Ia mengusap pipiku lembut, kemudian melangkah meninggalkanku.
Aku berteriak memanggilnya tapi ia tetap berjalan ke balik cahaya. Bersamaan dengan menghilangnya bidadari kecil itu, aku mendengar samar-samar suara ramai di sekelilingku.
“Subhanallah! Evi membuka matanya! Papa…Mama… Avi sudah sadar!”
Aku mengerjapkan mataku. Dengan pandangan yang masih agak kabur, aku melihat Bang Fikry duduk di samping ranjang sambil menggenggam tanganku. Tasbih terjuntai di tangan satunya lagi. Papa, Mama, adik-adikku, ustadzah Salma, ustadzah Maryam, mengelilingi tempat tidurku. Aku tak dapat bergerak karena tubuhku terasa sakit dengan selang-selang yang seperti membelengguku.
“Evie, kau sudah tiga hari koma. Alhamdulillah sudah sadar,” bisik bang Fikry. Sadar? Aku masih di dunia! Tidak, aku harus pergi! Tugasku di sini sudah selesai! Aku tidak boleh berada di sini!
Kutatap Bang Fikry lekat-lekat. Ia tersenyum manis. Aku mencoba tersenyum kepadanya dan kepada orang-orang di sekelilingku. Lalu dengan tenaga yang ada, kuucapkan Laailaahaillallah berkali-kali. Bang Fikry seperti tahu maksudku. Dengan penuh ketabahan, ia menuntunku melafalkan kalimatullah. Yang lain hanya menatap kami sambil terisak. Tidak sampai sepuluh menit, terdengar suara tersedak dari tenggorokanku. Kupersembahkan senyumku yang terakhir kepada orang-orang yang setia menungguiku. Tubuhku terasa ringan ketika dijemput Malaikat Izrail. Aku telah siap menjalani kehidupan yang abadi di sisi Allah dan bertemu dengan bidadari kecilku lagi. (nur)
Penulis: Nabila F. Az-Zahra, Annida 10/XI